Artikel

Zonasi Kemerdekaan

Bumi berputar dunia bergulir, seiring berjalannya waktu tanpa terasa gong tahun pelajaran baru 2019/2020 sudah berjalan, secara otomatis berakhir pula kegiatan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru). Namun demikian tentu masih segar dalam ingatan kita bagaimana hiruk pikuknya para orang tua/wali yang gelisah ketika akan mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri yang diinginkan, sehingga berujung pada banyaknya pengaduan ke Ombudsman karena ketidakpuasan masyarakat sebagai dampak diterapkannya sistem zonasi pendidikan. Secara umum kondisi tersebut bisa dimungkinkan karena minimnya informasi sekaligus kurang dipahaminya petunjuk teknis PPDB yang diterima para orang tua/wali calon peserta didik, dan masih terobsesinya masyarakat terhadap sekolah favorit sebagai sekolah unggulan, sehingga mendorong keinginan para orang tua untuk bersikeras memaksakan anaknya masuk ke sekolah negeri yang dituju meskipun tidak memenuhi persyaratan, serta keterbatasan daya tampung sekolah di daerah karena tidak meratanya sebaran sekolah negeri dalam satu zona.

Diberlakukannya penerapan Zonasi PPDB tahun 2019 bersumber pada terbitnya Permendikbud No. 20 Tahun 2019 tanggal 20 Juni 2019 sebagai perubahan atas Permendikbud No. 51/2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada TK, SD, SMP, SMA, dan SMK. Sistem Zonasi pendidikan yang dimaksud merupakan sebuah konsep pembagian wilayah untuk tujuan layanan pendidikan bagi percepatan perluasan dan pemerataan akses pendidikan yang bermutu dan berkeadilan. Lebihnya lagi sebagaimana disampaikan Mendikbud Muhadjir Effendi (Detiknews, 21/06/19), bahwa: “sistem zonasi adalah yang terbaik untuk memperbaiki sistem pendidikan secara radikal. Badan Litbang Kementerian telah melakukan kajian terhadap sistem ini jauh sebelum saya  menjadi menteri. Jadi bukan serta merta, saya mimpi dapat wangsit terus menerapkan kebijakan zonasi ini. Bila merujuk kepada negara maju seperti Amerika, Australia, Jepang, negara-negara Skandinavia, Jerman, dan Malaysia, bisa maju antara lain karena menerapkan sistem zonasi. Meskipun pada awalnya negara-negara tersebut menghadapi persoalan yang sama dengan Indonesia, terkait infra struktur dan kualitas guru yang belum merata, yang secara bertahap mereka terus menyempurnakan sehingga maju seperti sekarang ini”. Memang bila dicermati ternyata banyak kesamaan dengan apa yang dialami di Indonesia, sehingga menjadi wajar kalau pada awal penerapan sistem Zonasi menimbulkan riak-riak gelombang, apalagi hal itu masih dianggap sebagai sesuatu yang baru untuk dipraktekkan di negara berkembang seperti Indonesia, apalagi antara Indonesia dengan negara maju tersebut terdapat banyak perbedaan, baik secara geografi, demografi, ekonomi, dan sosial-kultural. Justru sekarang tinggal bagaimana menyempurnakan kebijakan sistem zonasi tersebut kearah yang lebih baik sesuai dengan kondisi ke-Indonesiaan, agar nantinya permasalahan yang akan timbul ketika diberlakukan kembali sistem zonasi dapat diminimalisasi.

Poin penting ketentuan Permendikud tentang penerapan zonasi pendidikan tersebut, diantaranya: Pertama, persentase penerimaan siswa baru melalui jalur Zonasi paling sedikit 80 persen dari daya tampung sekolah; Kedua, jalur prestasi 15 persen; dan Ketiga, jalur perpindahan tugas orang tua/wali paling banyak 5 persen. Jika dikaji secara mendalam dari penerapan sistem zonasi pendidikan ini, sebenarnya semua orang pada akhirnya akan diuntungkan. Hal itu bisa dimaknai dari pernyataan yang telah disampaikan oleh Mendikbud serta pejabat terkait lainnya di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaaan  yang berhasil dirangkum dari sumber berita Kompascom (20 /06/ 2019) dan sumber berita lainnya, perihal manfaat penerapan zonasi pendidikan dari sisi kebijakan (non pedagogik), antara lain sebagai berikut: 1) pendekatan zonasi tidak hanya digunakan untuk PPDB saja, tetapi juga untuk membenahi berbagai standar nasional pendidikan,  mulai dari kurikulum, sebaran guru, sebaran peserta didik, kemudian kualitas sarana prasarana. Semuanya nanti akan ditangani berbasis zonasi; 2) Zonasi akan menjadi basis data dalam perumusan kebijakan yang berkaitan dengan peta sebaran distribusi guru, ketersediaan sarana prasarana dan fasilitas sekolah, termasuk wajar (wajib belajar) 12 tahun; 3) kita bisa melihat permasalahan-permasalahan pendidikan yang ada di kabupaten/kota secara lebih jelas, sehingga dapat mengatasi  persoalan ketimpangan di masyarakat melalui percepatan pemerataan pendidikan  yang berkualitas di daerah; 4) dapat melakukan perencanaan pendidikan kedepan  jauh lebih baik, karena evaluasi menyeluruh untuk pemetaan dilakukan berdasarkan zona; 5) untuk penggunaan anggaran bisa disiapkan sampai beberapa tahun kedepan, berdasarkan pemetaan perzona pula. Misalnya kepala dinas atau kepala daerah akan lebih mudah menghitung target waktu yang akan dicapai dimasa datang, terkait kebutuhan sekolah, kebutuhan anggaran, kebutuhan guru atau tenaga pengajar yang lain;  6) melalui sistem zonasi dengan lingkup terbatas akan lebih memudahkan mengetahui mana anak yang sekolah dan mana anak yang tidak bersekolah, termasuk juga tidak akan ada anak yang rumahnya dekat dengan sekolah negeri yang notabene didanai oleh pemerintah tidak bisa masuk hanya karena dipengaruhi nilai; dan 7) Dengan sistem zonasi nantinya pembangunan sekolah baru tidak lagi didasarkan pada ketersediaan tanah, melainkan seberapa jumlah anak yang  tidak tertampung di zona itu berdasarkan kebutuhan dimasing-masing zona, sehingga Pemda lebih mudah menghitung kebutuhan sekolah di daerahnya. 

Di sisi lain secara pedagogik, karena zonasi prinsipnya dimaksudkan untuk mendekatkan jarak antara sekolah dengan rumah. Ini akan berdampak positif terhadap efektivitas proses pembelajaran, seperti anak tidak lagi kelelahan karena perjalanan jauh sehingga anak lebih siap menerima pembelajaran, dan membantu anak untuk tumbuh berkembang bersama orang tua lebih lama, sekaligus bermanfaat terbangunnya komunikasi antara anak dengan orang tua dengan baik. Dari sisi evaluasi, nilai ujian dan rapor yang didapatkan oleh peserta didik seolah tidak lagi menjadi prioritas. Apalagi  tujuan penerapan zonasi yang digunakan di tahun sekarang dimaksudkan untuk menjawab putus sekolah sebagaimana pernyataan yang telah disampaikan oleh Staf ahli Bidang Regulasai Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud Chatarina Muliana Girsang, bahwa kebijakan zonasi dalam penerimaan peserta didik baru 2019 untuk menjawab tantangan putus sekolah, sebab banyaknya angka anak SD dan SMP yang tidak bisa meneruskan sekolah karena tereliminasir oleh seleksi hasil Ujian Nasional (Antara, 01/07/2019). Dengan demikian melalui penerapan sistem zonasi pendidikan, pendekatan pembelajaran bukan lagi sebagai arena balapan, bukan kompetisi-kompetisian, pembelajaran tidak lagi berkutat seputar mengejar angka, melainkan lebih mengutamakan kepada upaya pengembangan jati diri sumber daya manusia dengan mengolah berbagai potensi yang ada dalam diri peserta didik, agar kualitas hidupnya lebih baik dimasa datang ketika memasuki usia dewasa. Sebab tantangan peserta didik nantinya akan memasuki tata kehidupan masyarakat masa depan, seperti:  globalisas, pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, padat serta cepatnya arus informasi dan komunikasi, tuntutan profesionalisme, dan persaingan sumber daya manusia. Jadi sekolah bukan lagi sebagai lembaga kompetisi kognitif, lembaga tester, namun sekolah berperan sebagai subkultur komunitas sosial untuk saling mengembangkan pribadi dalam rangka penguatan pendidikan karakter yang dihasilkan  oleh proses pembelajaran dari pendidikan yang bermutu.

Pentingnya pendidikan berkualitas bukanlah tanpa dasar, karena ini akan berkontribusi terhadap lahirnya insan-insan yang cerdas. Cerdas secara komprehensif dalam artian cerdas baik spiritual, cerdas sosial-emosional dalam ranah sikap, cerdas intelektual dalam ranah pengetahuan, dan cerdas kinestetis dalam ranah keterampilan, yang tercermin dalam karakter yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara, melalui suasana belajar dan proses pembelajaran dimana peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, sebagaimana diamanatkan dalam Undan Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Tahun 2003. Oleh sebab itu upaya kerja keras pemerintah untuk mempercepat peningkatan kualitas pendidikan bukanlah isapan jempol belaka, karena faktanya bangsa Indonesia sekarang ini dihadapkan pada masalah rendahnya mutu pendidikan. Berdasarkan data skor PISA (Programme for International Students Assessment) tahun 2015 saja pada tingkat literasi yang meliputi tiga aspek; membaca, kemampuan matematika, dan kemampuan sain, masih berada pada peringkat 10 besar terbawah yaitu peringkat ke-62 dari 72 negara anggota OECD (Orgnization for Economic Cooperation and Development), kita masih kalah dari negara Vietnam (Kompasiana, 16/12/ 2018). Oleh karenanya sebagaimana harapan Mendikbud  (Kominfo, 08/02/2019), dengan berbasis zonasi ini akan menjadi solusi terbaik untuk membenahi standar nasional pendidikan, mulai dari kurikulum, sebaran guru, sebaran peserta didik, kemudian kualitas sarana prasaran. Apalagi jika diperhatikan pemerintah selama ini dalam jumlah besar telah menggelontorkan dana untuk membiayai pendidikan nasional supaya terjaminnya setiap warga mendapatkan hak yang sama dalam memperoleh pemerataan dan kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, mengingat setiap warga negara pada dasarnya memiliki hak yang sama untuk memanfaatkan setiap rupiah dalam APBN.

Digulirkannya Permendikbud tentang kebijakan Zonasi pendidikan merupakan wujud nyata dari upaya mengimplementasi amanat: Pancasila sila kelima, yakni Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; Penjelasan batang tubuh UUD 1945 Pasal 28C, ayat 1, dimana setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia; juga pada Pasal 31 UUD 1945, yaitu dengan memberikan kesempatan kepada setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan hak pengajaran, sekaligus bertanggungjawab pula dalam hal pembiayayaan setidaknya sampai pendidikan dasar, bahkan pemerintah wajib mendanai dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendaptan dan belanja daerah untuk kebutuhan penyelenggaran pendidikan nasional; dan terutama sekali dalam mengimplementasikan amanat UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, dan berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan minat dan bakatnya tanpa memandang status sosial, etnis, dan agama, sepanjang hayatnya.

Sebagai negara yang berdaulat penuh kiranya patut untuk disyukuri karena dengan leluasa bangsa Indonesia dapat memprioritaskan pendidikan sebagai pilar utama dalam membangun bangsa. Tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa yang digagas oleh para pendiri republik ini bukan tanpa makna, melainkan sebagai jawaban atas kegetiran kehidupan sosial yang pernah dialami rakyat Indonesia pada masa pemerintahan kolonial dulu, dimana bangsa Indonesia nyaris sama sekali tidak memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk bisa akses dibidang pendidikan secara merata dan berkeadilan. Membiarkan kebodohan, kebijakan pendidikan yang diskriminatif  yang berujung pada penderitaan, kemiskinan, dan rapuhnya ikatan tali persatuan bangsa. Ini bisa dimaklumi sebab tujuan penjajah selalu ingin mempertahankan status quo atas daerah jajahannya demi mempertahankan hegemoni politiknya. Kalaupun ada upaya pemerintah kolonial Belanda untuk membuka sekolah pasca Politik Etis Belanda, semata-mata bertujuan untuk mencetak SDM tenaga administrasi berkualitas dan murah, yang pada ujungnya untuk kepentingan penjajah-penjajah juga. Oleh karenanya dengan kehadiran sistem Zonasi sedikitnya telah mengikis kaedah pendidikan kolonial Hindia Belanda yang diskriminatif dengan meruntuhkan mindset “label sekolah favorit dan tidak favorit”  yang sudah terpatri lama di masyarakat, sehingga dampaknya dapat dirasakan langsung oleh kaum marginal. Selama ini sekolah favorit atau sekolah unggulan hanya bisa dinikmati oleh sekelompok kecil kaum elit di daerah dengan segala kelebihan status sosial, ekonomi, dan akademik. Jika keadaan ini dibiarkan terus menerus,  dikhawatirkan akan berdampak kepada sedikitnya warga negara Indonesia yang bermutu tinggi di masa datang, karena terbatasnya masyarakat untuk mendapatkan layanan akses pemerataan  kualitas pendidikan.

Kiranya dengan konsep kebijakan baru sistem zonasi sebagaimana disampaikan oleh Mendikbud (Kominfo, 08/02/2019): “akan menjadi cetak biru yang digunakan oleh Kemendikbud dalam upaya untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang ada di pendidikan, khususnya di sektor pendiikan formal dan non formal. Kemudian juga untuk mencari jalan penyelesaian masalah-masalah itu secara terintegrasi, secara menyeluruh.” Termasuk barangkali didalamnya mengurai permasalahan percepatan perluasan dan pemerataan akses pendidikan yang bermutu dan berkeadilan. Meskipun dalam praktek kebijakan Zonasi tersebut masih terdapat celah kekurangan, seperti masih dianggap lemah payung hukumnya sehingga ini berimbas pada sulitnya bersinkronisasi dan berharmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lainnya, atau berkoordinasi dengan kementerian/lembaga lain, termasuk pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota. Juga tak kalah penting lainnya lagi justru permasalahan penerapan zonasi datang dimuaranya sendiri yaitu dimasyarakat sendiri seperti kasus perpindahan penduduk  tempat tinggal yang tiba-tiba.

Memeriahkan hari kemerdekaan Republik Indonesia sekarang ini, merupakan momen tepat untuk membahas makna kemerdekaan dihubungkan dengan konsep pendidikan termasuk juga kebijkan Zonasi pendidikan. Mengutip pelajaran penting dari Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, bahwa dalam mendidik anak harus dilandasi kemerdekaan sebagai hal yang fundamental, sebab hakekat pendidikan adalah kemerdekaan yang tidak dibatasi oleh tirani kekuasaan, politik, atau kepentingan tertentu, dengan tidak boleh membeda-bedakan agama, etnis, suku bangsa, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, dan status sosial.  Oleh Ki Hajar Dewantara ini dibuktikan melalui penerapan pembelajaran yang semula dengan menggunakan perintah, paksaan, dan hukuman, dirubah dengan sistem Among yang didasarkan pada perkembangan kodrati anak. Sementara itu gurunyapun disebut “Pamong”, sebagai pemimpin yang berdiri di belakang atau dikenal dengan semboyan “tut wuri handayani,” yaitu tetap mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri, dan tidak terus menerus dicampuri, diperintah, atau dipaksa, disamping faktor lainnya berupa keteladanan (Ing ngarso sung tulada), dan  penyemangat dari dalam (ingmadya mangun karsa), yang mana kandungan makna ajarannya  tersebut sangat syarat dengan jiwa patriotisme yang memerdekan, mencerdaskan,  dan non diskriminatif, sehingga ini begitu relevan  dengan prinsip sistem Zonasi pendidikan.

Pada akhirnya dalam era mengisi kemerdekaan sekarang ini, melalui terobosan besar kakebijakan Zonasi pendidikan seolah menjadi obat penawar sakit yang pernah diderita bangsa Indonesia akibat perlakuan sistem pendidikan kolonial yang diskriminatif dan tidak berkeadilan. Kiranya dalam melawan lupa, penting untuk mengingat kembali bahwa pencapaian keberhasilan pendidikan nasional yang sudah diraih sampai hari ini tidak lepas dari peran besar para pahlawan kusuma bangsa khususnya pahlawan pendidikan yang tak henti-hentinya terus berjuang melawan penjajah dalam menghapus sistem pendidikan kolonial yang membodohkan dan menyengsarakan rakyat, untuk digantikan dengan sistem pendidikan nasional Indonesia yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Semoga hadirnya kebijakan Zonasi pendidikan akan menjadi penyambung lidah amanat pahlawan pendidikan dalam memerdekaan bangsa dari perlakuan diskriminasi pendidikan, sekaligus sebagai pelita yang akan menerangi jalan bagi tumbuh kembangnya tunas muda yang cerdas sebagai aset sumber daya manusia unggul, menuju Indonesia maju sebagaimana tema Dirgahayu Republik Indonesia di tahun sekarang ini. Dengan bangga dan rasa syukur yang mendalam kami sampaikan Selamat Ulang Tahun Republik Indonesia ke-74 Tahun, majulah pendidikan Indonesia, jayalah negeriku, dan jayalah bangsaku.

R. Suyato Kusumaryono, Staf Bagian Hukum, Tata Laksana, dan Kepegawaian, Setditjen GTK

X