Dalam keadaan bagaimanapun pendidikan harus tetap berlangsung karena tidak saja terkait dengan masa depan generasi penerus bangsa, bahkan umat manusia. Terlebih jika kita semua sependapat bahwa dalam sejarah kehidupan manusia pendidikan dalam berbagai bentuknya merupakan rekayasa sosial dengan mana berbagai kecerdasan manusia diasah agar mampu menjadi khalifah dalam kehidupannya di muka bumi. Oleh sebab itu, kita patut berterimakasih kepada para pendiri negeri ini yang dengan kesadaran kolektif sepakat menjadikan pendidikan sebagai salah satu cita-cita kemerdekaan. Lebih dari itu, didasari oleh visi jauh ke depan, di bagian pembukaan konstitusi ditegaskan bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tujuan eksistensi bangsa ini. Konsekuensinya, apapun hambatannya termasuk Pandemi Covid 19, pendidikan must go on.
Pertanyaannya, mengapa terjadi kehebohan dan pro kontra tentang apakah sekolah akan dimulai pada awal tahun ajaran mendatang atau tidak? Satu pihak dengan tegas dan bersemangat menyatakan sekolah harus dibuka pada waktunya untuk menghindari ketertinggalan dalam mata pelajaran. Pihak lain dengan alasan demi keselamatan murid berpendapat pembukaan sekolah justru harus ditunda. Bahkan pihak ini menguatkan penolakannya dengan pernyataan bernada keras bahwa pembukaan sekolah sama dengan mengumpankan anak-anak kita kepada Hantu Corona yang belum pulang kandang.
Jika dicermati, kedua pemikiran yang bertolak belakang tersebut sama-sama berangkat dari Old Normal Paradigm yang cenderung mereduksi makna pendidikan sebatas konteks administratif yaitu penyelenggaraan sekolah reguler. Jika makna itu yang dijadikan argumen, maka tidak hadirnya murid di gedung sekolah tentu saja akan menghentikan pembelajaran, sebaliknya kehadiran murid di kompleks sekolah sama dengan memberikan peluang penularan virus corona kepada mereka. Jadilah Buah Simalakama, dimakan mati ayah tidak dimakan mati ibu. Padahal, sebagaimana sering disampaikan oleh Fasli Jalal, inti dari pendidikan adalah learning is not just schooling. Sekolah itu sendiri sebagai institusi pendidikan banyak formatnya dan semua itu telah diselenggarakan di Indonesia. Hanya saja, banyak dari kita yang memandang hanya sekolah reguler yang sebenarnya pendidikan, sedang yang lain hanya sekolah penggembira, anak bawang, atau bahkan pelengkap penderita.
Study from Home: Persiapan Menuju New Normal
Sejak Mas Menteri (panggilan akrab Mendikbud RI) menerbitkan surat edaran tentang Study from Home (SFH) bulan Maret 2020 yang lalu, hampir tiga bulan sudah anak-anak kita belajar dan kuliah dari rumah guna menghindari wabah Covid 19. Apakah selama itu mereka semua pura-pura belajar? Apakah selama itu pula guru, dosen, kepala sekolah, dan pejabat serta tenaga kependidikan lainnya berleha-leha atau merenungi keterkurungan di rumah masing-masing? Apakah SFH hanya salah satu upaya sementara untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah menyelenggarakan sekolah sebagaimana biasanya? Ini semua pertanyaan-pertanyaan keblinger karena berharap besok kita akan kembali seperti kemarin ketika hidup di era Old Normal. Pertanyaan positif nan bijak seyogyanya didasari semangat memasuki era New Normal yakni; Apa pelajaran yang kita dapat dari SFH untuk dijadikan modalitas memasuki era New Normal? Apa paradigma dan praktik pendidikan era Old Normal yang harus kita tinggalkan? Seperti apa rancangan “persekolahan” hari esok?
Sesungguhnya bencana itu merupakan krisis karena terjadi mendadak tanpa peringatan dan sebagaimana disampaikan dalam tulisan lain telah membawa wahyu perubahan. Oleh sebab itu tidak satu pun pemangku kepentingan siap, dipersiapkan, dan mempersiapkan diri mengatasinya sehingga penerapan SFH masih banyak kekurangan di sana-sini. Akan tetapi, jika kita berfikir positif, banyak pelajaran berharga yang kita peroleh. Banyak pula praktik persekolahan dalam arti moda pembelajaran yang sebelumnya kita tolak seperti belajar jarak jauh, home schooling, ujian sekolah dan semacamnya, selama SFH kita terapkan. Tidak berlebihan jika SFH telah mengembalikan pendidikan ke hakekatnya yang esensial yaitu learning.
Yang juga menggembirakan, selama SFH berlangsung, banyak dari praktisi dan pemangku kepentingan pendidikan yang berinisiatif dan mengunjuk kebolehan yang selama ini terpendam sebagai potensi, termasuk guru yang ada di garda terdepan. Di portal Guru Berbagi, yang diinisiasi Kemendikbud saat memasuki masa pandemic Covid-19, telah dibagikan ribuan rencana pelaksanaan pembelajaran daring (RPP) oleh guru dan telah diunduh oleh 200 ribu pengguna dalam kurun waktu 2 bulan efektif dari semua jenjang sekolah.
Di portal Guru Berbagi, guru-guru dan komunitas penggerak saling berbagi pengalaman melakukan pembelajaran jarak jauh
Tidak sedikit sekolah yang menerapkan pembelajaran berbasis Teknologi Informasi yang sebelumnya dihindari karena merasa tidak memiliki dukungan yang cukup dalam hal biaya, fasilitas dan kompetensi guru. Banyak orangtua siswa yang sebelumnya menitipkan sebagian besar tanggung jawab pendidikan anaknya kepada guru dan sekolah, kini menerimanya kembali. Mereka banyak yang menyadari dua esensi penting pendidikan yaitu betapa berat tugas guru dan sekolah, serta merekalah yang sebenarnya paling berkepentingan dan bertanggungjawab dalam pendidikan bagi masa depan anak-anaknya.
Revolusi Mental: Membangun Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka.
Semua pengalaman terbaik dari penerapan SFH tidak boleh disia-siakan karena bermimpi kembali pulang ke rumah lama. Harus disadari bahwa bencana yang sekarang dialami umat manusia di seluruh muka bumi akan menjadikan hari esok tidak akan pernah sama lagi dengan kemarin. Yang tersedia hanya one way ticket. Dengan kesadaran itu, pengalaman terbaik selama SFH harus dijadikan pelajaran, kemudian diperkaya dan diperkuat untuk dikemas menjadi strategi baru pendidikan di rumah yang baru. Untuk itu, diperlukan revolusi mental yang sejak dicanangkan Jokowi enam tahun yang lalu masih belum tampak jelas dilakukan oleh para pemangku kepentingan pendidikan di semua lini, jenjang dan dan wilayah.
Kini saatnya siswa memerdekakan dirinya mencari ilmu yang diperlukannya sesuai dengan minat, kemampuan dan cita-citanya berbasis merdeka belajar. Orangtua murid menguatkan kedudukannya sebagai pemilik utama anak termasuk masa depannya. Untuk itu mereka harus bekerjasama bahu membahu dengan kepala sekolah dan guru dalam mengelola sekolah dan pembelajaran. Saatnya guru menjadi guru sejati yang belajar dan membelajarkan diri sendiri dan muridnya. Pengelola sekolah secara proaktif menerapkan sebenar-benarnya manajemen berbasis sekolah untuk membangun kampus merdeka dengan menjadikan masyarakat sebagai pengendali mutunya. Pemerintah pusat mengubah arti fungsi regulator dari menentukan, mengatur dan mengendalikan menjadi sebagaimana yang diterapkan di LLDIKTI 4 yaitu memberdayakan, mengawasi dan membina perguruan tinggi swasta. Pemerintah daerah, menguatkan dirinya sebagai pembuat kebijakan dan perancang sistem penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan karakteristik khas wilayahnya. Dengan demikian, pemerintah daerah bersama pemangku kepentingan pendidikan lainnya berinisitaif memainkan peran utama dalam menetapkan kapan sekolah dimulai. Selain itu menetapkan pilihan-pilihan moda pembelajarannya termasuk kemungkinan penerapan blended learning yang mengkombinasikan SFH berbasis daring dengan tatap muka bergantian di sekolah guna mencapai tujuan pendidikan dengan tetap memenuhi protokol kesehatan.
Sebagai penutup, sekali lagi mengingatkan bahwa Pandemi Covid 19 membawa wahyu perubahan yang menuntut revolusi mental semua manusia di muka bumi khususnya bangsa Indonesia, lebih khsusus lagi pemangku kepentingan pendidikan. Adalah kurang normal jika new normal dikelola secara old normal. Hanya saja: Siapkah? Maukah? Mampukah? Ikhlaskah? Kita semua yang harus menjawabnya!
Abdorrakhman Gintings dan Jatnika Hermawan
Artikel
Pendidikan Era New Normal: Belajar Dari Study From Home
- by Sekretariat GTK
- 14 Juni 2020
- 26537 Views