GTK, Jakarta – Hari Pendidikan Nasional juga hari lahir Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Ia berasal dari keluarga bangsawan, berpendidikan pesantren dan sekolah setara Eropa, sempat sekolah kedokteran, jadi wartawan, pendiri partai politik nasionalisme pertama, pejuang pendidikan, kebudayaan, dan kemerdekaan.
Pada Sapa GTK 8: Mengenal Sosok Ki Hadjar Dewantara, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Iwan Syahril mengurai sejumlah cerita unik mengenai sosok bernama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat.
“Ada beberapa hal unik yang mungkin luput dari perhatian kita. Bahwa yang pertama, Ki Hadjar nama aslinya Soewardi Soerjaningrat. Beliau adalah bangsawan, aristokrat, jalurnya jalur Putra Mahkota, jadi ini bangsawan kelas atas,” Iwan Syahril membuka bidak kata.
Semangat setara diperlihatkan dari pilihan untuk mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara.
“Bahkan dia memilih mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara, supaya setara. Semangat egaliter sangat kuat di pejuang pendidikan kita,” jelas Iwan.
Ki Hadjar pun pernah mengenyam pengalaman sebagai santri selama beberapa tahun sebagai bagian dari dimensi “akar” pendidikan beliau.
“Beliau ini sempat nyantri. Ki Hadjar Dewantara pernah nyantri dengan kiai Sulaiman Zainuddin di kawasan Kalasan, Prambanan, Yogyakarta. Beliau nyantri loh sempat beberapa tahun. Belajar ngaji sampai tuntas di pesantrennya kiai Sulaiman Zainuddin,” terang Dirjen GTK Kemendikbudristek.
Ki Hadjar juga menempuh pendidikan di ELS (Eropeesche Legere School). ELS merupakan sekolah dasar untuk anak-anak Eropa dan bangsawan yang ada di Indonesia. Beliau bisa masuk ke sekolah ini karena beliau adalah anak bangsawan. Ia lahir di dalam sebuah keluarga keraton, dari pasangan Gusti Pangeran Harya Surjaningrat dan cucu dari Pakualaman III.
“Ki Hadjar juga menempuh pendidikan yang ala Eropa ketika waktu sekolah dasar. Jadi beliau menempuh pendidikan di ELS, SD yang memang dilakukan di Hindia Belanda, tapi kualitasnya setara dengan yang ada di Eropa. Ki Hadjar SD-nya di situ selama 7 tahun,” tutur Iwan Syahril pada Sapa GTK 8, Sabtu (1/5/2021).
Setelah lulus dari ELS, Ki Hadjar kemudian melanjutkan pendidikannya di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) yaitu sekolah yang dibuat untuk pendidikan dokter pribumi di kota Batavia.
“Sesudah dari ELS, beliau masuk sekolah STOVIA. Berarti Ki Hadjar calon dokter lho. Beliau belajar pengin jadi dokter. Dia tidak tamat di STOVIA, karena ada beberapa versi ya,” ucap Iwan.
“Ada yang dia bilang diberitakan Ki Hadjar itu sakit, sehingga tidak bisa menempuh pendidikan. Ada juga yang bilang Ki Hadjar ini bandel, karena sering protes sama sekolah di STOVIA, sehingga kemudian dia dikeluarkan. Intinya dia tidak selesai di STOVIA-nya,” sambung Iwan Syahril menjelaskan.
Cerdas berliterasi Ki Hadjar juga terlacak dari kariernya sebagai wartawan.
“Begitu keluar dari STOVIA, Ki Hadjar menjadi wartawan, jurnalis, jadi beliau tuh nulis. Sangat aktif sebagai jurnalis,” terang Mas Dirjen.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo yang nantinya akan dikenal sebagai Tiga Serangkai, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.
“Jadi Ki Hadjar juga seorang politikus. Bahkan mendirikan partai politik pertama. Indische Partij dimaknai sebagai partai politik pertama di Indonesia,” ucap Iwan Syahril menjelaskan latar sejarah Bapak Pendidikan Nasional.
Tulisan Ki Hadjar dikenal sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Tentu artikelnya yang dikenal luas yakni Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga) di mana kedua tulisan tersebut menjadi tulisan terkenal hingga saat ini. Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker.
Buntut dari tulisan tersebut Ki Hadjar dibuang, diasingkan, mendapat hukuman. “Dia pergi ke Belanda, di Belanda dia belajar tentang pendidikan, dapat diploma, dan menjadi pendidik,” kata Iwan Syahril mengenai salah satu fase pada perjalanan hidup Ki Hadjar.
“Itulah Ki Hadjar sampai akhir hayatnya menjadi pendidik, karena sebenarnya cita-cita dari Ki Hadjar itu adalah Indonesia merdeka dan memerdekakan dari semua anak, orang-orang, rakyat Indonesia. Roh merdeka itu sangat kuat dalam perjalanan hidup Ki Hadjar. Beliau percaya pendidikan inilah tempat yang akan mempersiapkan generasi baru, generasi yang merdeka,” imbuh Iwan Syahril.
Mas Dirjen pun menelaah mengenai anugerah gelar dokter honoris causa yang didapatkan Ki Hadjar Dewantara dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 1956. Uniknya gelar dokter honoris causa ini didapatkan bukan dari bidang pendidikan, tapi di bidang kebudayaan.
“Karena Ki Hadjar ini berpikir jauh lebih luas dari konteks pendidikan, kebudayaan ini dalam konteks peradaban,” ucap Iwan.
Salah satu peninggalan dari Ki Hadjar Dewantara yang membuat buah pikirnya tetap dapat dimaknai di segala zaman yakni tulisannya. Apresiasi pun dilontarkan Iwan Syahril kepada KHD.
“Ini sekelumit betapa kayanya dimensi dari Ki Hadjar Dewantara. Itu yang membuat bagi saya setiap membaca tulisan-tulisan KHD. KHD ini sebenarnya sangat jenius ya. Beliau menulis dengan bahasanya sendiri, sehingga kadang-kadang kita harus memahami konteks dan mungkin membaca berulang kali, supaya mengetahui maksudnya seperti apa, esensinya apa,” ujar Iwan Syahril membagi tips menelaah karya Ki Hadjar.
“Karena Ki Hadjar sebagai bangsawan, dia dididik kesusatraannya tinggi sekali. Dia sangat nyeni. Kadang-kadang bahasanya kiasan-kiasan yang mungkin kita perlu agak tenang sedikit berpikirnya untuk memahami apa sih yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara,” sambung Dirjen GTK Kemendikbudristek, Iwan Syahril.