Sekolah Penggerak

Kepala Sekolah SMP 1 Kisaran Asahan: Program Sekolah Penggerak Membuat Sekolah Jadi Bertumbuh

GTK - Anita Hasibuan, Kepala Sekolah SMPN 1 Kisaran Asahan, Sumatera Utara, menceritakan pengalaman di sekolahnya semenjak tahun 2021 menjalankan Program Sekolah Penggerak (PSP) dari Kemendikbudristek RI. Ia mengatakan bahwa sekolahnya berupaya memahami program ini pelan-pelan. Setelah dicoba dan terus dievaluasi, ujarnya, mulai ada perubahan yang lebih baik. 

Dimulai dengan Adaptasi

Awalnya dilakukan pelatihan daring selama 10 hari tentang Program Sekolah Penggerak di SMPN 1 Kisaran Asahan. Sasaran pelatihan ini adalah guru-guru di sekolah sendiri. Setelah itu, ketika pemahaman dasar soal PSP sudah terbentuk di antara para guru, sekolah mengurus administrasi pendaftaran Program Sekolah Penggerak.

Salah satu yang harus dilakukan Sekolah pelaksana Program Sekolah Penggerak adalah membuat Kurikulum Operasional di Satuan Pendidikan (KOSP). Sebagai kepala sekolah, Ibu Anita terus memberikan pengarahan kepada guru-guru, juga berkolaborasi dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) setempat. Ketika menyusun KOSP, sekolahnya mencoba mengadaptasi contoh yang diberikan Kemendikbudristek.

“Kami masih meraba-raba cara menyusun KOSP yang benar,” ujar Ibu Anita, “bahkan untuk memahaminya lebih baik kami juga melakukan pelatihan daring,” lanjutnya. Hal serupa juga dilakukan ketika menyusun modul ajar. 

“Ada contoh penyusunan yang diberikan oleh Kemendikbudristek. Lalu kami mencoba mengembangkan contoh tersebut. Tidak diadopsi begitu saja, melainkan disesuaikan dengan kondisi sekolah dan murid-murid kami,” ia mengungkapkan.

Pada prinsipnya, kepala sekolah memberikan keluasan kepada seluruh guru untuk merancang sendiri modul ajarnya, secara mandiri maupun melalui diskusi guru-guru mata pelajaran. Dalam pelaksanaannya, masih ada guru yang belum memahami cara menyusun modul ajar yang berdiferensiasi. 

“Saya menyadari bahwa memang tidak seluruh guru yang mampu untuk mengimplementasikan Kurikulum Merdeka,” ujar Ibu Anita.

Oleh sebab itu, ketika ada guru yang mengalami kesulitan dalam menyusun modul dan melaksanakan pembelajaran di kelas, kepala sekolah akan kembali berkolaborasi dengan wakil kepala sekolah, dan guru lainnya dengan melaksanakan training, pelatihan, workshop, dan lain-lain untuk mengoptimalkan penerapan kurikulum di satuan pendidikan. 

Kepala sekolah tetap mengadakan pertemuan, berdiskusi, dan memberikan sejumlah masukan. “Saya meminta guru yang telah menyusun modul ajar dan masih ada sedikit kekurangan untuk memperbaiki di semester depan,” tuturnya.  

Refleksi Dua Tahun

Setelah menjalankan Program Sekolah Penggerak sampai saat ini, Ibu Anita menyatakan bahwa ia sangat menyadari bahwa tantangan terbesar yang muncul di tahun pertama adalah para guru. “Ketika ada perubahan, sebagian guru belum mampu menerima perubahan,” ungkapnya. 

Salah satu contoh yang disampaikannya adalah guru-guru yang sudah senior dan belum bisa menggunakan fasilitas Informasi dan Teknologi dengan cepat. Berbeda dengan guru muda yang lebih cepat beradaptasi dan masih punya daya kreatif. “Saya mengajak para guru berdiskusi agar sama-sama bisa mengubah pola pikir,” tuturnya 

Setiap satu kali dalam sebulan, Ibu Anita mengadakan rapat kerja untuk menanyakan apa yang saja yang dibutuhkan oleh para guru. Rapat rutin seperti ini mempunyai dampak yang sangat penting sekali, tak hanya pada persoalan pembelajaran tetapi juga ke kedekatan guru dan kepala sekolah. 

Apalagi, di tahun-tahun sebelumnya jarang sekali guru yang masuk ke ruangan kepala sekolah. Sehingga, tak terelakkan, ada jarak yang terbangun antara guru dan kepala sekolah. “Sekarang ruangan kepala sekolah saya buat jadi terbuka,” ungkapnya.

Dengan cara seperti itu, kepala sekolah dapat mengetahui lebih dalam kondisi yang terjadi. Ibu Anita pun dapat mencari solusi terbaik untuk mengatasinya. Untuk persoalan kapasitas guru, misalnya, tak jarang ia mengadakan in house training beberapa kali dengan mengundang narasumber dari luar sekolah. 

“Guru-guru dapat pengarahan dari para narasumber mulai dari soal kolaborasi, pembelajaran aktif, pembelajaran dua arah, hingga pembelajaran menggunakan IT,” katanya. Dengan cara pelan-pelan dan interaktif seperti itu, menurut Ibu Anita, perubahan akan datang juga. Begitu yang dirasakannya sendiri dari semester ke semester semenjak menjalankan Program Sekolah Penggerak. 

Kini, setiap kali mengadakan pertemuan dengan sesama kepala sekolah dari PSP, ia sudah bisa langsung merembukkannya dengan para guru di sekolah, dan kemudian dapat menyesuaikan dengan kebutuhan sekolahnya. Kerja-kerja kolaborasi di sekolah berjalan dengan lebih baik dari sebelumnya. 

Sementara itu, dari sisi para murid, bila dilihat dari pelaksanaan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), tahun 2021 sudah dilaksanakan dengan 3 tema dan empat tema di tahun 2022 lalu. Beberapa tema yang telah diangkat diantaranya adalah Cintai Lingkungan, Gaya Hidup Berkelanjutan, dan Semangat Berdemokrasi.

Dengan menjalankan berbagai tema tersebut, para murid dapat mempelajari hal banyak. Menurut Ibu Anita, para murid di sekolahnya menunjukkan perubahan sikap yang luar biasa dengan adanya P5. 

“Dulu mereka masuk ke dalam sekolah, bahkan juga ke dalam kelas, nyelonong begitu saja. Sekarang, setelah melaksanakan P5 dengan tema-tema yang beragam, mereka sudah mau bersalaman dengan guru,” ungkapnya. 

Selain itu, para murid juga lebih leluasa dan antusias untuk menunjukkan kreativitas di luar kelas tapi tetap berdampak baik ke dalam kelas. “Ada kegiatan gotong royong rutin, juga ada kegiatan Jumat Ibadah, bahkan juga senam,” ujar Ibu Anita dengan senang. 

Sudah lebih dua tahun menjalani PSP, Ibu Anita merasa bangga dengan capaian yang terjadi, sekalipun ia tetap menyadari bahwa saat ini proses menuju lebih baik terus ditingkatkan, meski kadang perlu pelan-pelan. 

“Saya mengakui bahwa Program Sekolah Penggerak (PSP) ini memunculkan kehormatan bagi sekolah, karena sekolah kami dapat tumbuh, punya nilai lebih dan dijadikan contoh oleh rekan-rekan lainnya,” tutupnya.

X