Dit. Guru Dikmen Diksus

Orientasi Kepada Murid Adalah Kunci bagi Peningkatan Kualitas Profesi Guru

GTK, Jakarta - Profil guru Indonesia: Guru yang berdaya memiliki beberapa ciri yakni berjiwa Indonesia, bernalar, pembelajar, profesional, berhamba pada anak. Pada poin berhamba pada anak, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Iwan Syahril mengungkap kata tersebut berakar dari kata-kata Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara.

Asas ke-7 Taman Siswa yang merupakan buah pikir dari Ki Hajar Dewantara berbunyi: “Bebas dari segala ikatan, dengan suci hati mendekati sang anak, tidak untuk meminta sesuatu hak, namun untuk berhamba kepada sang anak.”

Berhamba pada anak, saya mau klarifikasi dulu, ini memakai kata-kata dari Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, itu analogi sebenarnya. Analogi yang menyatakan bahwa, apalagi Ki Hajar seorang bangsawan ya, jadi ketika dia mengatakan berhamba pada anak, analogi atau kiasannya adalah sebegitu kuatnya orientasi kepada murid, kepada anak, yang melandasi bagaimana pendidik itu bekerja,” kata Dirjen GTK Kemendikbud, Iwan Syahril dalam wawancara telekonferensi, Rabu (3/6/2020).

“Jadi profesi guru itu betul-betul harus berorientasi sekuat mungkin bagaimana memberikan layanan kepada anak. Jadi ini sebenarnya makna dari kata tersebut. Nah menurut saya dari semua ciri-ciri tersebut, inilah sebenarnya ciri yang paling penting, berorientasi kepada murid adalah kunci bagi peningkatan kualitas profesi dan juga layanan profesi,” tambah Iwan Syahril.

Iwan pun memberikan studi perbandingan dengan menilik para calon guru di Singapura dan Finlandia. Ternyata parameter penting bagi calon guru adalah orientasinya kepada peserta didik.

“Kalau kita lihat di negara-negara yang pendidikannya bagus, guru-gurunya hebat, seperti misalnya yang sering saya kutip tuh Singapura dan Finlandia. Orientasi gurunya atau cara dia mulai dari awal untuk melatih calon-calon guru berorientasi pada murid itu sangat dalam sekali,” jelas Iwan.

“Bukan yang terpandai saja, otomatis jadi guru, seperti yang mungkin sering dipikirkan. Kayak di Finlandia dan Singapura yang menjadi guru adalah yang terbaik, yang nilainya paling bagus gitu, ternyata enggak juga,” sambungnya.

Iwan Syahril pun mengungkap data kemampuan kognitif para calon guru di negara Finlandia.

“Ada pernah sebuah penelitian profesor dari Finlandia membuka data yang diterima menjadi mahasiswa di fakultas keguruan yang menjadi calon guru itu, siapa nih, dilihat dari tesnya. Ternyata dari tes yang untuk kognitif, kurvanya kurva normal. Yang the best and the brightest itu cuma 24%. Yang 50% rata-rata, malah ada yang agak ke kiri gitu, maksudnya yang performanya, tesnya tidak begitu bagus,” rinci Dirjen GTK Kemendikbud, Iwan Syahril.

Iwan menegaskan bahwa fondasi awal bagi guru ke depannya adalah orientasi kepada murid.

“Pertanyaannya bukannya kita memilih anak terpandai untuk jadi guru? Ternyata apa yang dilihat adalah values. Salah satu values adalah orientasi kepada murid. Kalau guru sudah kuat pada values-nya nilai orientasi kepada murid,  ini walaupun secara kognitif dia tidak terlalu bagus atau apa, itu nanti bakal catch up sendiri, akan mengikuti sendiri, akan berlangsung dengan baik. Justru kalau nanti gurunya pintar bagaimana pun, dia tidak punya values untuk layanan kepada murid, justru tidak akan terlalu banyak berdampak,” ujar Iwan Syahril.

“Jadi orientasi ini akan menjadi sangat penting, baik di sistem pendidikan negara lain, kita akan menerapkan itu di kita juga. Ini penting, ini kunci fondasi awal,” tambah Dirjen GTK Kemendikbud, Iwan Syahril.

X