Guru Penggerak

Kolaborasi Siswa dan Guru Penggerak Mengatasi Limbah Organik

GTK – Slogan Tut Wuri Handayani yang berarti di belakang memberikan dorongan sangat menggambarkan guru yang satu ini. Nasmur Kohar, guru di SMPN 7 Makassar yang berinovasi dalam mengembangkan metode belajar mengajar di sekolahnya agar lebih menarik bagi peserta didik. Sebagai bagian program “Guru Penggerak”, pria yang akrab disapa Nasmur ini paham bagaimana memanfaatkan potensi dan rasa ingin tahu siswa-siswanya. Karenanya, alih-alih mengajak mereka belajar di kelas, ia justru mendorong anak didiknya untuk mempelajari apa yang bisa dilakukan di luar sekolah.

Mengingat untuk memenuhi capaian pembelajaran tidak cukup dengan belajar di kelas (intrakurikuler), maka Pak Nasmur memaksimalkannya di kokurikuler. Di sana siswa yang sudah menguasai materi di intrakurikuler bisa bekerja sama dengan yang belum paham di pelajaran tersebut. “Misal materi IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), senyawa dan campuran saya tidak ajar maksimal di intrakurikulernya, saya terapkan (maksimalkan) di pelajaran kokurikulernya. Nanti anak-anak yang sudah paham di intrakurikuler, bisa membantu temannya yang belum paham,” ujarnya.

Kegiatan ini, ia mulai dengan mengajak anak didiknya untuk mengamati bagaimana kondisi lingkungan di sekitar tempat tinggal mereka, bagaimana pengelolaan sampahnya. Dari proses tersebut, ternyata ada Keyla Anastasya dan Andini Syalsabila, siswi kelas 7 yang resah karena melihat sampah yang berserakan, baik di sekitar tempat tinggal maupun di perjalanan menuju sekolah mereka. Munculah pertanyaan sekaligus ide dari keduanya. Mereka penasaran, jika sampah anorganik bisa didaur ulang, maka seharusnya begitu juga dengan sampah organik. “Percuma (sampah) dibuang begitu saja. Kalau sampah plastik bisa dibuat lampion, pasti yang organik juga bisa diolah lebih bermanfaat,” jelas Andini.

Hal senada juga disampaikan Keyla, “Saya melihat lingkungan di sekitar saya yang banyak limbah organik dan kalau melihat sampah, saya juga tertarik tanaman orang tua saya yang tidak bisa tumbuh subur."

Kegelisahan itu pun disampaikan kepada guru mereka yang kemudian menjadi bahan diskusi. Lalu mereka mempelajari mulai dari jenis-jenis sampah beserta cara mengolahnya, mana saja metode yang mungkin diterapkan, mana yang lebih bermanfaat. Akhirnya muncullah ide tentang komposter, metode mengolah sampah menjadi pupuk cair. Metode ini mereka temukan melalui internet dengan dibimbing oleh guru mereka.

“Mereka menemukan itu (komposter) di internet. Karena sudah kodrat zaman dan kita tidak bisa lepas dari internet. Sumber belajar tidak hanya dari saya, tetapi juga internet,” tutur Pak Nasmur.

Selama dua bulan dengan didampingi gurunya, mereka mempelajari bagaimana membuat komposter sendiri hingga pupuk cair hasil pengolahan limbah tersebut sudah diujicobakan. Uji coba dilakukan mulai dari lingkungan sekolah hingga tanaman milik orang tua Keyla dan sudah berhasil. Pupuk dari mereka mampu menyuburkan tanahnya.

Bagi Keyla dan Andini, proyek komposter ini begitu menyenangkan, karena melibatkan interaksi dan praktik langsung bersama guru. Selain itu tidak hanya satu, tapi ada tiga pelajaran yang bisa mereka implementasikan dalam proyek ini, yaitu IPA, matematika, dan kearifan lokal. Dorongan yang diberikan oleh Pak Nasmur mampu memberikan semangat bagi anak didiknya agar potensi mereka bisa bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya.

X